Salam

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Rabu, 11 Januari 2017

Jiwa yang Datang dan Pergi

Namanya Aleisya Salsabila Bubinga. Wajahnya kemerahan, dengan rambut terlampau lebat untuk ukuran bayi berusia satu minggu. Anak cantik. Kupandangi lekat-lekat ketika ia tertidur pulas. Mulut mungilnya manyun-manyun mencecap sesuatu seolah sedang minum susu. Seorang ibu, tentulah bahagia ketika janin yang dikandungnya berbulan-bulan kini lahir menjadi bayi kecil menggemaskan. Suaminya bangga kepadanya. Keluarganya senang kedatangan anggota baru. Rumahnya akan dipenuhi suara tangis tengah malam, mainan-mainan yang berserakan, dan kerepotan-kerepotan seru lainnya.

Beberapa hari lalu aku bersama guru dan teman-teman mengaji berkumpul di Masjid Al-Qolam tempat kami biasa menimba ilmu. Berencana untuk berkunjung ke kediaman Mbak Andini yang baru saja melahirkan putri ketiganya. Suasana pecah menyenangkan setiba kami disana. Tak sabaran. Berebut mendekat pada baby Aleisya. Aku memotretnya ketika ia tertidur pulas digendongan ibunya. Kami mendengar uraian cerita Mbak Andini detik-detik ketika Aleisya akan lahir. Cukup menegangkan bagiku. Sedikit ngilu. Tetapi itu nanti saja dipikirkan. Siapalah yang ingin menghabiskan waktu untuk memikirkan sakitnya melahirkan seorang anak ketika dihadapan ada baby Aleisya. Ia terlalu lucu untuk diacuhkan begitu saja.

Pikiranku menerawang jauh. Di dunia ini, dalam sehari setidaknya ada 19 kelahiran disetiap seribu populasi, atau 360 ribu kelahiran perhari yang hanya separuh dari angka tersebut (sumber : wordpress.com). mungkin kita dikehendaki untuk merasakan suka cita lebih banyak tetapi tanpa melupakan duka cita. Berbicara soal itu, ingatanku masih segar perihal kabar meninggalnya teman sekolahku sepuluh hari lalu. Kala itu aku sedang tidak di Surabaya. Namun mengingat teknologi terkini, sebuah kabar bisa datang dan sampai saat itu juga di belahan bumi mana saja. Rahangku mengeras. Aku rasa otakku belum ingin menelan kabar itu bulat-bulat. Aku mengingat kapan terakhir kali bertemu dengannya. Tidak jauh. Masih sempat beberapa kali menemuinya di acara kajian di beberapa tempat. Memoriku beringsut mundur. Menaksir kira-kira apa penyebab ia meninggal. Tentu tak lepas dari kehendak Yang Maha Kuasa.

Keesokan harinya barulah aku genap memercayai, bahwa temanku itu telah tiada. Orangtua dan tetangga yang memastikan hal itu padaku. Sungguh mengagetkan. Aku belum terbiasa mendengar kabar seseorang meninggal ketika ia seusiaku. Masih dibawah 25 tahun. Masih muda. Aku terbiasa mengetahuinya dari seseorang yang telah sepuh, tua renta termakan usia, pasien yang digerogoti penyakit menahun, atau seorang bayi yang tidak kuat menyesuaikan diri di dunia antah berantah ini. Seorang teman yang selalu ceria, mengajak kepada kebaikan, kupikir ia sehat-sehat saja selama ini. Kendati terlihat demikian, ternyata sakitnya tidaklah sepele. Ia terserang penyakit autoimun yang katanya menyerang sistem kekebalan tubuhnya. Ia pergi meninggalkan dunia setelah beberapa hari dirawat dirumah sakit. Malangnya.

Aku menyadari sesuatu hal. Di detik manapun Allah menghendaki memulangkan hambaNya, detik itu juga saatnya. Tak pernah Dia mengulur atau menunda, kecuali atas kehendaknya. Kita semua tahu bahwa hidup kekal dengan cara menenggak cairan berwarna dari laboratorium atau meminum daraah makhluk tertentu melalui lehernya hanya ada pada dongeng belaka. Hal itu jelas bertolak belakang dengan keyakinan Islam. Hakikatnya, kematian memang menakutkan. Namun tidak ada yang mampu menolaknya atau menahannya. Pun tidak ada kemampuan untuk menghindari, pertolongan dari orang lain, kekuatan pencegahan, dan tepisan lainnya. Itulah isyarat, bahwa kematian datang dari pemilik kekuatan paling tinggi.

Al-Qur’anul karim merekamnya dengan gamblang. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surge maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” [Ali-Imran : 185].

Tidak ada ruginya jika memikirkan perihal kematian. Tetapi mengapa banyak manusia menganggapnya saru-tidak baik dibicarakan-. Bukankah hal tersebut dapat menyebabkan seseorang tidak menunda-nunda bertaubat, berlomba memperbanyak amal kebajikan, serta membantu kita lebih khusyu’ dalam beribadah?

Ingatkan diri kita. Betapa penting mempersiapkan diri dari kematian. Lejitkan semangat setidaknya untuk menjadikan diri berguna bagi oranglain. Semoga dengan begitu, banyak untaian doa-doa untuk kita ketika telah tiada nanti dari mereka yang masih mengingat kita, bahkan mampu menyimpan rindu.


Della Putri Wulandari
13 Rabiul akhir 1438 H / 11 Januari 2017

Minggu, 01 Januari 2017

Perayaan Malam Tahun Baru

Hari ini. Hari pertama di tahun 2017. Tahun baru Masehi. Seharusnya tidak perlu begitu seremonial bagiku jika dibanding dengan tahun baru Hijriyah. Tetapi bagi mayoritas orang hal itu menjadi sebuah momen sekali dalam setahun yang jika dilewatkan akan lama lagi untuk menunggunya datang.

Aku memang ada ditengah-tengah seremonial itu. Di malam itu, malam terakhir di tahun 2016,  ditengah hiruk pikuk kemacetan jalanan kota Surabaya, diantara suara menggelegar petasan, dibawah buncahan kembang api beraneka warna menghias langit mendung malam ini, aku termangu. Entah sudah berapa kali aku tidak berada ditengah-tengah situasi ini beberapa tahun belakangan. Hanya berdiam diri dirumah, membaca buku atau sekedar menonton tivi sambil membayangkan suasana di jalanan atau di tengah kota dengan gemerlap perayaan malam tahun barunya. Merutuk kesal karena tidak diijinkan bergabung merayakannya diluar sana bersama teman.

Kali ini, setelah beberapa tahun, aku berkesempatan merasakannya. Lengkap dengan teman-teman, kita menyusuri jalanan menuju taman di tengah kota. Tak mudah memang, jalanan padat merayap, ditambah anak-anak labil yang memodifikasi motornya memblokade jalan sambil membunyikan klakson bahkan membuat suara knalpotnya menggerung-gerung kencang membuat sesak dada. Setelah bersusah payah, kita memutuskan untuk berhenti di salah satu restoran fast food dekat dengan taman. Berjibaku ditengah kemacetan cukup lama membuat kami cepat lapar. Kami rasa tempat ini bisa untuk sementara beristirahat sambil menunggu kepadatan kendaraan mereda.

Menghabiskan waktu bersama teman memang menyenangkan. Tak terasa sudah lewat tengah malam. Diluar sana suara petasan dan terompet semakin sering terdengar dan semakin kencang. Aku merasakan sesuatu luruh dalam dadaku. Yang entah itu betulan ada atau hanya perasaanku saja. Bukankah seharusnya aku menikmati malam ini? Merayakan malam tahun baru dan berkumpul bersama teman-teman, walau tidak satupun dari kami berniat untuk meniup terompet atau menyulut petasan, bersenda gurau bersama mereka itu sudah cukup. Semakin lama rasanya semangatku semakin meredup. Inikah sensasinya berada ditengah-tengah perayaan malam tahun baru? Inikah suasana yang aku kesalkan beberapa tahun belakangan karena tidak bisa merasakannya? Saat aku berada ditengah keramaian ini,  justru aku  merasa sepi. Sepi dari apa? Entahlah.

Mungkin esok, aku harus memikirkannya ulang. Perlukah aku merasa kesal seperti beberapa tahun belakangan? Perlukah aku ikut menuju pusat keramaian untuk kemudian sadar bahwa aku  tak merasakan apa-apa ketika berada ditengahnya? Ya, ini semua hanya menciptakan kebisingan. Berisik. Membuang-buang waktu dan uang. Menghabiskan tenaga. Belum lagi konsekuensi kewajiban yang tertinggal. Selama ini banyak kubaca tulisan tentang itu, tetapi aku belum benar-benar menyadarinya hingga aku berada ditengah situasi itu langsung.

Semoga, semakin banyak manusia yang sadar, bahwa hal itu tidak untuk dirayakan sebegitu hebohnya. Semoga semakin banyak yang paham bahwa melakukan hal yang mubadzir seperti itu tidak baik. “Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)


Della Putri Wulandari
03 Rabiul Akhir 1438 H / 01 Januari 2017